Jumat, 27 Desember 2019

Tentang Luka dan Desember
(Vi Bauty Riska Utami)

Belum terasa bagiku bahwa pergantian tahun akan membahagiakan
Nyatanya pikiran penuh liku itu membawa segelintir luka lama
Lama yang baru saja ditinggalkan
Atau lama yang harusnya kuhempaskan
Tak semudah itu, tentu

Kau sudah tau, terlalu banyak beradu dan tersedu memang tak imbang
dengan sifat dan sikapmu yang diketahui banyak orang
Begitulah gestur abadi yang kau ciptakan riang
yang tak sebanding dengan masa lalu dan bayang-bayang

Kau pasang, pajang, pampang wajah baikmu
Pasang keadaanmu
Pajang kebijaksanaanmu
Pajang wajah lamamu
Terpampang, "Baguslah. Kau baik-baik saja."
Hebat. Sedang akting drama? Sinetron?
Casting aktris wanita?
Sekali lagi, ini gara-gara luka yang tak kunjung sirna

Desember,
Mungkinkah Januari yang ditunggu akan lebih bijaksana?
Atau mungkin, ia membawaku pada slogan apik yang saat ini masih saja munafik?
Aku berharap banyak padamu
Berharap dia lekas tergantikan

Kamis, 14 November 2019

Mungkin

Mungkinkah judul-judul yang telah dirangkai bagai bunga buket pernikahan selanjutnya diabaikan?
Mungkinkah semuanya dihilangkan dianggap sebagai pertanda telah usai?
Mungkinkah diri telah kehilangan kekukuhan hati yang selama ini didambakan?
Mungkinkah sebegini jadinya terabaikan?
Mungkinkah hanya sekadar berpikir atau sekadar menjalani ala kadar?
Mungkinkah ini bagian tanda yang seharusnya terjadi meski tak diinginkan?
Mungkinkah sejuta ragu telah menyelimuti tubuh yang dahulu kekar, mantap tuk memulai?
Mungkinkah tubuh telah diselimuti dosa-dosa yang tak mengizinkan membunuh ragu?
Mungkinkah tubuh  tak diberi jalan atau minta kau singkirkan?
Atau mungkin, semesta mulai ragu kemudian memberi salam perpisahan?
Sebegitu mungkinkah seluruh ragu raga jiwa di lensa matamu?
Sebegitu menjinjikan dan burukkah sebuah nyawa di lensa matamu?

Sabtu, 02 November 2019


CINTA BISU

Bagiku, merdeka sesederhana itu
Saat kupandang lekat dirimu
Penuh pesona, mengundang rindu
Bak artis tertampan untukku
Jadi stalker handal untukmu
Tanpa seorangpun tahu

Ya, benar. Tak perlu kau tahu, duhai cinta!
Bahwa aku selalu selalu kasmaran
Dengan melankolismu yang menawan
Dengan gelak, tawa serta kegilaan
Mengundang kesejukan dan keteduhan
Bahagia atas kemerdekaan

Sekali-kali kubisukan,
Perasaan dan segala kerinduan
Di setiap waktu berjalan
Untukmu, penuh rupawan

Tak apa, duhai cinta!
Demimu, akan kurahasiakan
Karena kutahu satu kepastian,
Kau belum ada yang memiliki
Dan tak ada niatan
Tuk jalin hubungan dini

Itulah alasan,
Aku tetap bahagia
Meski dalam kebisuan cinta
Jadi manusia merdeka

(Purbalingga, 8 Agustus 2019)


Puisi ini saya ciptakan untuk para manusia yang kasmaran, sedang memuji seseorang dalam diam, lalu hanya bisa memendam perasaan. Karena baginya, jodoh pasti akan datang. Ia hanya perlu merahasiakan apa yang ia rasakan, meski seringkali wajahnya yang menawan datang di setiap jalan. Mungkin ini hanya perasaan titipan yang diberikan Tuhan, bukan untuk disalahgunakan. 

Kamis, 24 Oktober 2019



Sajak Ruang Gelita

Dalam ruang hampa bernama gelita
Gelita ciptakan kobar api penuh bara
Entahlah definisi bara asmara
Ataupun bara api pembakar semangat raga
Raga para makhluk yang serentak menghentak tapak
Melalui berjuta nostalgia
Melalui seribu tatap temu sebagai tanda
Melalui seribu tegaknya raga yang sudah payah adanya
Namun anehnya, para makhluk ini masih setia jua

Dalam khusyuknya gelita yang tadangkan doa bersama angin yang berhembus syahdu,
Mereka layangkan hadiah berupa cita yang membuat rindu
Rindu yang tengah bercumbu mesra dengan cinta yang dirakit dalam kalbu
Yah. Begitulah definisi kita. Satu, tetap satu.

Dalam cerah, remang nan gelap kita tapak
Menjunjung solidaritas yang kian kompak
Meski cinta hampir tak pernah nampak

Tanpa sadar, tatap-temu menciptakan  gelora, euforia nan ceria
Tanpa sadar, gelak-tawa menciptakan rasa letih bercampur bahagia

Dengan segala tingkah konyol, hawa malas dan sukar bertemu sekalipun
Kata setia akan selalu menjiwa meski berbeda minda nan raga
Benarkan demikian sobat?

Dalam ruang gelita
Meski susah payah membawanya
Meski terjerumus dalam lembah nestapa
Tak ayal, kita junjung jua segalanya
Segala beban, hambatan dalam kesakitan

Kesakitan?
Benarkah kesakitan?

Ini belum apa-apa sobat!
Ini belum seberapa sahabat!

Lihat!
Bandingkan betapa riuh, ricuh dan kukuh keadaan umat mahasiswa di luar sana
Yang sedang teguh memberi masukan-tujuan
meski tahu bahwa keluaran akan sulit didapatkan
Mempertahankan asas kemanusiaan di atas rekayasa keadilan
Memikul segala resiko kegagalan yang berdampak penindasan
Ditambah, betapa mengesankan keviralan perjuangan yang disiarkan
Meski tak sesuai dengan hasil yang didapatkan

Sedang kita? Keluh, kesah, gelisah yang membekas
Hanya karena berpuluh-puluh tugas yang tegas lugas dan  tak mungkin menindas

Tenanglah sobat!
Rahasia kebaikan pasti akan kita dapatkan di balik ketidaksetujuan
Bukan hanya serta merta definisi dari ospek jurusan
Namun juga sebagai bentuk kesiap-siagaan dari segala bentuk kesakitan

Anggaplah saja kita sedang menabung
Tak tahu seberapa jumlah nominal harta yang tergabung
Karena yang kita tahu, hanyalah menampung, lalu kemudian beruntung

Purwokerto, 05 Oktober 2019
Vi Bauty Riska Utami

Puisi di atas merupakan puisi yang saya buat kedua kalinya dan ditampilkan kedua kalinya di rangkaian acara Protel 4.0, 5 Oktober 2019. Bahkan saya, si pembuat puisi belum pernah membacakan puisi di depan umum, namun sudah tiga orang yang membacakan puisi saya dengan lantang dan bagus. Pada puisi "Sajak Ruang Gelita" ini, saya buat atas saran dari kawan seperjuangan saya, Dimas Fasqi Fahrezi yang pada postingan puisi sebelumnya telah saya kenalkan. "Sajak Ruang Gelita" ini dibacakan oleh adik/peserta Protel 4.0 kami, yakni Luqi (foto sebelah kanan) dan Albilah(foto sebelah kiri). Puisi tersebut khusus saya buat untuk ditampilkan di Malam Keakraban Protel 4.0, tepatnya saat api unggun. Karena perasaan peserta Protel 4.0 yang lelah ditimpa banyak tugas serta pembacaan puisi di malam hari tanpa ruangan, jadilah puisi saya yang berjudul "Sajak Ruang Gelita". Puisi tersebut saya buat demi untuk menyemangati adik-adik peserta Protel 4.0 dengan cara pembacaan lantang dari Luqi dan Albilah itu sendiri. Semoga Anda sebagai pembaca akan terhibur dan masuk ke dalam perasaan adik-adik mahasiswa baru 2019 yang sedang beradaptasi untuk menuntut ilmu. Nantikan postingan saya selanjutnya..


Rabu, 23 Oktober 2019


Saat Bumi Pertiwi Bersuara
(Vi Bauty Riska Utami)

Kini, Khatulistiwa diamuk massa
Kekeringan jadi tersangkanya
Bukan hanya kekeringan air yang hakikatnya menghidupi bangsa
Namun juga kekeringan harta benda

Kini penguasa rakyat memberi arak-arak penuh mewah nan indah
Beri milyaran janji penuh ilusi,
tuk dapatkan milyaran hati hingga masyarakat merugi
Beri jutaan mimpi penuh ambisi,
yang berujung sandiwara lagi dan lagi
Beri jutaan hajat,
mengaku dirinya merakyat,
namun ternyata, sekadar delusi yang jadi adat istiadat

Kini wakil rakyat gemar memberontak
Sedang rakyat hobi bersedekah hingga tubuh rasa luluh lantak
Membuat mahasiswa Sabang-Merauke tersentak
Menelan sumpah, sampah, serakah yang kian menggertak
Saatnya mahasiswa turun aksi memberi apresiasi
Sebagai bentuk kecaman negara demokrasi yang kian merugi
Di atas muslihat aparat rakyat yang mengaku hebat
Meski darurat, berani memperalat dan menghambat
Mahasiswa berseru bersatu tanpa mandat
Alih-alih ditunggangi kepentingan rakyat

(Purwokerto, 27 September 2019)


Puisi berjudul "Saat Bumi Pertiwi Bersuara" ini, ditampilkan dan dibacakan oleh Dimas Fasqi Fahrezi saat Parade Yel-Yel Fakultas Teknik Telekomunikasi dan Elektro (FTTE) saat hari ke-3 Protel 4.0 di Purwokerto hari Sabtu, 28 September 2019. Saat itu, keadaan Pemerintah Indonesia sedang diamuk massa terutama aksi mahasiswa yang turun ke jalan dari seluruh kampus penjuru Indonesia untuk mendapatkan hak terkait RUU KUHP. Berdasarkan latar belakang tersebut, jadilah selembar puisi ini yang awalmya adalah keinginan/custom dari sahabat satu organisasi saya, yaitu Dimas.  Puisi ini juga telah dipublikasikan di website resmi milik Komunitas Pers IT Telkom Purwokerto. Link: https://www.komperss.com/saat-bumi-pertiwi-bersuara/

Selasa, 22 Oktober 2019

Waktu yang Tepat


Waktu yang Tepat

Ketika segelintir manusia terombang-ambing hembusan sejuknya udara yang sedang berbahagia
Menikmati indahnya pelukan angin yang sedang sayang-sayangnya
Beberapa anak bermain menunggu saat yang tepat
Mungkin ba'da asar?

Tanah kosong yang belum sempat digarap. Menunggu waktu tepat, meski tahu diri dikemudian hari akan penat
Hasil panen yang tak seirama usaha nan tenaga
Namun sebagai makhluk sosial yang apa adanya
Mereka sabar menghadapi cobaan dan rintangannya
Asalkan satu.
Tanah tetap utuh: gagah
Tak jadi bangunan tinggi menjulang seperti di kota-kota megah
Tak jadi wadah penampung sampah

Puisi ini dilatarbelakangi oleh kiriman sebuah foto dari teman lain kampus saya. Sebelumnya kami pernah bertemu sekali secara sengaja dalam sebuah acara studi banding himpunan kampus kami. Ketika melihat foto tersebut, hanya kalimat puisi "Waktu yang Tepat" ini yang dapat saya utarakan. I hope you will enjoy..

Ayat Melankolis

Ayat Melankolis 


Di bawah suhu sedingin Atlantis
Ada perjuangan yang yang tak terlihat
Begitu romantis
Berharap jangan sampai berhenti apalagi terpahat

Di bawah suhu sedingin Atlantis
Ada sepasang mata penuh nikmat
Melihat pemandangan melankolis
Dengan lantunan ayat-ayat


Puisi ini dilatarbelakangi oleh kekaguman seseorang terhadap makhluk Allah yang melantunkan ayat-ayat yang berhasil menggugah jiwa si penulis.  

Tentang Luka dan Desember (Vi Bauty Riska Utami) Belum terasa bagiku bahwa pergantian tahun akan membahagiakan Nyatanya pikiran penuh li...